Demokrasi bukanlah hasil temuan nenek moyang kita. Memang bukan
di tanah ibu pertiwi ini lahirnya demokrasi itu, dia lahir jauh di arah matahari
terbenam yaitu di eropa, yunani tepatnya tanah kelahiran demokrasi. Sistem
pemerintahan yang memang hasil temuan nenek moyang kita adalah Sistem kerajaan ,
Itulah budaya berpolitik nusantara jaman dulu, saat majapahit dan singosari
masih megah, gagah di seantero nusantara. Konsep itu menerapkan seseorang
memiliki umsur keilahian yang lebih derajatnya dibanding yang lain, maka
jadilah dia raja dan birulah darah keluarganya. Tidak heran sampai sekarang
bermuculan dinasti-dinasti baru kekeluargaan berdarah biru dengan motor uang
yang menguasai pemerintahan Negara ini.
Tapi pada dasarnya sekarang konsep tersebut sudah usang,
seperti barang usang lainnya yang tempatnya digudang, tidak terpakai lagi dan
digantikan oleh barang baru yang namanya demokrasi. Setelah seabad lebih merdeka
baru sekarang kita benar-benar mengadopsi demokrasi ini. Setelah berdarah darah
para penjuang demokrasi memperjuangkannya akhirnya kita tiba di pestanya
demokrasi setiap lima tahun sekali. Namu apakah semua sepaham akan benang merah
inti dari demokrasi ini, apakah semua pelaku demokrasi ini benar-benar seorang
garuda yang gagah di nusantara, atau hanya bunglon yang berpura-pura sangar supaya dapat
makan lalu ikut ambil kesempatan di panggung demokrasi.
Pelakunya demokrasi adalah para politisi, baik karbitan
ataupun politisi karir banyak macamnya di nusantara ini. Semua terjun ke
panggung mimbar nya demokrasi, berjanji lalu bersumpah dan berbicara lantang
mengenai rencana mereka, yang terkadang pasti terkesan seperti lawakan bagi
aristokrat pendidikan atau para ahli yang mengerti dengan apa yang lantang
mereka suarakan.
Sebaiknya sebelum mereka lantang maju ke mimbar demokrasi,
mereka harus nya dididik dahulu, akan konsep nya demokrasi sang garuda. Para
pemangku kepentingan harusnya meluangkan waktu dan anggaran untuk mendidik
mereka mengenai berdemokrasi yang baik dan benar ala demokrasi garuda, jangan
hanya keluarkan peraturan tetapi tidak mengedukasi, masalah ada yang bebal itu
masalah pelaku, tetapj sebebal apapun paling tidak ada sedikit konsep yang
melekat.
Konsep demokrasi ala garuda seharunya mulai dengan merubah para
politisi menjadi patriot. Mereka punya jalan dan pandangan berbeda, tapi misi
satu, memakmurkan seantero nusantara ini baik alam ataupun rakyatnya. Demokrasi
ala garuda harusnya kembali menjimplak demokrasi nya yunani, berdiri di mimbar
berbicara dengan latang penuh argumentasi, silogisme dan kalau perlu retorika.
Bukannya berjoged memanggil wanita cantik dan dipasang didepan, harusnya bukan
suara speaker yang megah tetapi pemikiran yang tajam yang ditonjolkan. Lebih
sedih lagi berbagi uang, demokrasi macam apa itu. Plato dan muridnya
aristoteles akan melarang kata demokrasi dipakai disini kalau mereka masih
hidup. Karena bahkan untuk beretorika sekalipun yang namanya politisi kita
tidak mampu, mengedepankan emosi serta sok jago, nah itu jadi andalan kemudian
pada akhirnya dibumbui lagi oleh media maka makin populerlah politisi
berpikiran dangkal itu.
kampanye apa konser musik sebenarnya?.masalah janji tidak
ditepati mau dipermasalahkan nanti saja, sekarang lihat dulu cara mengumbar
janji nya saja seperti jualan rokok ketengan lampu merah . Cara mereka
berkampanye rendah dan tidak berjiwa. Seharusnya dimulai dari kampanye ini kita
harus ketat dan keras akan demokrasi ala garuda, maka ada kemungkinan kita bisa
membuat bangga bung hatta yang sudah sangat dalam mepelajari demokrasi. Bung
hatta adalah contoh terbaik seorang pelaku demokrasi ala garuda. Semoga saja
masih ada patriot diantara banyak ragam politisi itu. Masih ada orang jujur,
sejujur plato saat akan menerima hukuman menegak racuk. Maka akan ke angkasa
lah garuda ku ini,membungbung tinggi di langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar